Demokrasi vs Khilafahisme, diskusi The Institute for Democracy Education

Catatan Diskusi IDe “Demokrasi vs Khilafahisme”, 6 Mei 2017, Rumah Zahra, Cibubur

Oleh:
ABDURRAHMAN SYEBUBAKAR 
Ketua Dewan Pengurus The Institute for Democracy Education (IDe)
Pemerhati Ekonomi Politik, Demokrasi dan Pembangunan Manusia

DEMOKRASI

Terkait demokrasi, ada adagium yang masih relevan hingga saat ini, “Democracy is an evil we cannot do without”. Demokrasi bukanlah sistem sempurna dan final, yang sejak kemunculannya di Yunani kuno ribuan tahun silam, mengalami pasang surut, berbagai bentuk demokrasi muncul dan tenggelam.

Kritik terhadap demokrasi sudah ada sejak kelahirannya. Plato dalam “the Republic” mencela demokrasi sebagai “theatherocracy” - ajang permainan dan sandiwara politik kekuasaan para elit politk. Plato khawatir rakyat lebih banyak digerakkan oleh emosi dan kepentingan jangka pendek daripada rasio dan kepentingan jangka panjang yang berakibat pada terpilihnya politisi karbitan, pemain sandiwara. John Adams, Presiden ke 2 Amerika Serikat mengatakan “Democracy never lasts long”. Demokrasi tumbuh, lelah dan akhirnya bunuh diri. Pandangan negatif terhadap demokrasi banyak dilontarkan oleh para pemikir terkemuka di era kepresidenan John Adams (periode 1800 an) dan generasi pemikir berikutnya. Milton Friedman menyebutkan bahwa demokrasi merupakan mekanisme politik yang tidak efisien karena kecenderungan irrasionalitas para pemilih. Pandangan serupa juga dimiliki oleh Bryan Caplan, kolega Milton Friedman.     

Lebih jauh, para pemikir dan kritikus kontemporer menuduh demokrasi bertanggung jawab atas meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan global dalam beberapa dekade terakhir. Sebaliknya, diyakini bahwa negara membutuhkan rezim otoriter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, yang pada gilirannya, membantu mengurangi beban dan penderitaan rakyat miskin. Keyakinan ini banyak dipengaruhi oleh hipotesis Lee, dikaitkan dengan Lee Kuan Yew, pendiri dan mantan Presiden Singapura.

Terlepas dari semua "cerita" buruk tentang demokrasi, laju demokratisasi di seluruh dunia mengalami percepatan selama beberapa dekade terakhir  Saat ini, lebih dari 60 persen  populasi dunia hidup dalam demokrasi dengan pelbagai bentuk dan tingkat kedalaman berbeda-beda. Berdasarkan pelbagai penelitian kuantitatif dan kualitatif, antara tahun 1970-an dan 2000-an, demokrasi, secara meyakinkan, tampil jauh lebih baik daripada non-demokrasi di sejumlah indikator sosial-ekonomi seperti standar hidup, angka kematian bayi, gizi buruk dan lain lain. Saat demokrasi mengalami akselerasi dan penguatan, Jeffrey Sachs (2005) mencatat terjadinya pengurangan kemiskinan ekstrim baik secara absolut maupun secara proporsional terhadap penduduk dunia antara tahun 1980 dan 2000.

Mengacu pada Indeks Demokrasi (ID) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di tingkat global, dapat dilihat bahwa demokrasi mengungguli negara-negara non-demokratis dalam capaian pembangunan manusia. Untuk menyebutkan beberapa negara saja, diantaranya, Norwegia, Denmark, Swedia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, dan Costa Rica. Sebagian dari negara-negara ini berada di peringkat sangat tinggi dalam ID global sekaligus IPM. Di sisi lain, ada beberapa negara seperti Singapura, Rusia, Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya di bawah cengkeraman rezim otoriter tampil cukup baik dalam IPM. Tetapi tidak ada jaminan bahwa prestasi IPM mereka akan berkelanjutan. Dan yang pasti, negara-negara ini mengabaikan kebebasan politik, aspek sangat penting dan mendasar dalam pembangunan.

Istilah demokrasi memang berasal dari Barat yang uji coba perdananya dilaksanakan di Athena, kemudian direvitalisasi sejak abad 19 di Eropa Barat. Tetapi esensi demokrasi bukanlah monopoli Barat, dan tegaknya demokrasi tidak ditentukan oleh sekularisme, proyek ideologis tertutup dan gagal, yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan politik kenegaraan. Demokrasi juga bukan hanya soal prosedur dan kekuasaan mayoritas. Pemilu hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi. Partisipasi masyarakat; penghormatan terhadap HAM dan kebhinekaan; “kebebasan dari” berbagai bentuk deprivasi dan “kebebasan untuk” hak-hak sosial-politik dan ekonomi; kedaulatan rakyat; arus informasi bebas; persamaan di depan hukum; transparansi dan akuntabilitas pemerintahan; kesemuanya merupakan bagian penting dari “bahan baku” demokrasi.

DEMOKRASI INDONESIA
Mohammad Hatta, dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Kita” (1960), bernubuat bahwa demokrasi yang berurat berakar di dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia tidak dapat dilenyapkan untuk selama lamanya. Menurut Bung Hatta, demokrasi mungkin tersingkir sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi ia akan muncul kembali dengan tegap dan penuh keinsyafan. 

Bung Hatta meyakini setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita cita demokrasi dalam denyut kehidupan bangsa Indonesia, yaitu (1) faham dan tradisi kolektivisme yang berlaku di desa, (2) ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi serta persaudaraan antar manusia, dan (3) faham sosialis Barat yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan Bangsa Indonesia. Paduan dari ketiga anasir ini, menurut Bung Hatta, memperkuat keyakinan bahwa demokrasi yang akan dibangun oleh bangsa Indonesia di kemudian hari haruslah suatu perkembangan dari demokrasi asli yang berlaku di desa.

Berdasarkan pandangan dan analisis Bung Hatta di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi, terutama dimensi substantifnya, bukanlah gagasan dan sistem “asing” bagi bangsa Indonesia. Seturut dengan itu, Pancasila dan UUD45 sarat dengan kandungan nilai nilai demokrasi substantif seperti keadilan, kedaulatan rakyat, kesetaraan, dan hak asasi manusia.

Demokrasi susbtantif juga bukan saja berkesesuaian dengan Islam tetapi dalam perkembangannya terinspirasi nilai nilai Islam. Konsepsi tauhid dengan konsekuensi logis kemutlakan hanya milik Allah dan kesetaraan serta persaudaraan di antara sesama manusia menunjukkan kuatnya stimulus Islam terhadap demokrasi. Konstitusionalisasi demokrasi modern (demokrasi konstitusional) yang “diawali” di dunia Barat sejatinya didahului oleh Nabi Muhammad melalui ekperimen Piagam Madinah lebih dari 14 abad silam, yang oleh banyak kalangan, termasuk kelompok orientalis, dianggap terlalu modern untuk bangsa Arab pada saat itu.  

KHILAFAH
Hubungan Islam dan politik “kenegaraan” adalah persoalan klasik, Sejak kelahirannya, terutama sepeninggal Nabi Muhammad, Islam selalu bersentuhan dengan masalah masalah politik. Sejarah mencatat kegemilangan Islam dalam bidang politik, tetapi pada saat yang sama mencatat adanya perpecahan bahkan pertumpahan darah dalam tubuh ummat Islam akibat persoalan politik.   

Terkait hubungan antara agama  dan negara (politik), seperti dicatat oleh Musdah Mulia dalam bukunya “Negara Islam” (2010), ada tiga pola pemikiran, yaitu: (1) pola sekularis yang melihat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tanpa ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan politik kenegaraan; (2) pola tradisionalis yang sebaliknya meyakini bahwa Islam adalah agama paripurna yang mengatur semua perkara termasuk politik kenegaraan; dan (3) pola reformis yang berpandangan bahwa Islam  bukanlah agama yang semata mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan tetapi bukan pula agama yang mengatur semuanya secara rinci. Dalam pola pemikiran reformis, Islam hanya menyediakan prinsip prinsip dasar yang dapat dipedomani manusia untuk mengelola hubungan antar sesama dalam kehidupan masyarakat dan politik kenegaraan.       

RANGKUMAN PEMIKIRAN PEMBICARA DAN PESERTA DISKUSI

A. PEMBICARA

1. GUS AYIK, Aktivis Islam, Mantan Kombatan Politik HTI

Bentuk negara dan pemerintahan umat Islam selalu berubah-ubah persis seperti yang disabdakan Nabi Muhammad saw dalam hadits riwayat Ahmad. Hadits tentang periodesasi pemerintahan umat sudah sangat populer. Terutama di kalangan aktivis harakah Islam. Secara garis besar ada 3 bentuk pemerintahan yang disebutkan Nabi saw: Nubuwwah, Khilafah ala minhajin nubuwwah dan mulkan (kerajaan). Kerajaan dibagi dua tipe, adhan dan jabriyatan.

Ijma ulama sepakat bahwa durasi pemerintahan Nubuwwah selama 10 tahun, Khilafah 30 tahun,mulkan adhan 1263 tahun dan mulkan jabriyatan dari 1924 – sekarang (92 tahun). 90,5% usia umat berada di masa mulkan adhan yang terbagi dalam 3 dinasti: Umayyah, Abbasiyah dan Usmaniyah.

Kekhalifahan sah jika khalifah dibai’at oleh umat. Oleh karena itu Hizbut Tahrir berpendapat sejak Khalifah Abu Bakar sampai Khalifah Abdul Majid II (khalifah terakhir Usmaniyah), semuanya Khilafah yang sah atau Khilafah ala minhajin nubuwwah, sebab semua Khalifahnya dibai’at. Padahal bai’at ada 2 konteks, bai’at syar’i dan bai’at adat kebiasaan. Sepanjang rentang sejarah umat, hanya 7 khalifah yang menerima bai’at syar’i dari umat yaitu khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Selebihnya khalifah dibai’at secara adat saja (simbolis) karena pembai’atan mereka sebagai bentuk legalisasi kekuasaan yang diwariskan oleh khalifah sebelumnya. Sejatinya mereka itu raja bukan Khilafah dalam pengertian syara’.

Jumhur ulama sepakat Khilafah yang dipimpin Imam Mahdi adalah Khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang terakhir. Khilafah sebagai new world order vis a vis zionisme dajjal kapitalisme suatu keniscayaan. Gerak sejarah manusia sedang menuju ke sana. Sebelum khilafah yang dipimpin Imam Mahdi terealisasi, bentuk negara dan pemerintahan apapun bersifat darurat dan absah secara syariah. Dengan status waliyul amri/imam dharuri bi syaukah (kepemimpinan dalam keadaan darurat yang memiliki wewenang). Mau NKRI, Kerajaan Arab Saudi, Republik Islam Iran, ISIS, Kesultanan Malaysia, dll, semuanya absah dan halal.

2. DR HILMY BAKAR ALMASCATHY, Aktivis Islam, Ketua Dewan Pakar DPP Partai Islam, Dewan Pakar DPP Al Irsyad, Koordinator Dewan Pakar Imam Besar Ummat Islam, Penulis Buku “Islamic Revival in South East Asia: Islamic Perspective, Challenge and Future in Malaysia and Indonesia”

Nusantaraisme adalah aliran pemikiran progresif yang berkeyakinan bahwa nilai dan faham di Nusantara yang diturunkan sejak zaman Nabi Adam sampai faham demokratisme ataupun khilafahisme akan mampu mengantarkan NKRI sebagai super power akhir zaman. Fondasi NKRI yang sudah ada dan mengandung semua unsur kebaikan perlu dikembangkan dan diaktualisasikan sesuai dengan tuntutan New World Order Huntington atau One World Government yang dicanangkan Bill Gates.

Sebagai kelompok dengan jumlah besar di NKRI, Muslimin Indonesia didorong untuk menjadi pemimpin bagi 1,5 Milyar muslim lainnya dengan menjadikan Indonesia sebagai kiblat Islam yg berperadaban dan berkemajuan. Untuk itu, perlu dikembangkan fondasi pembaruan pemikiran Islam kontemporer yang  mengintegrasikan faham demokratisme dan khilafahisme dalam adonan yg tepat bagi Muslim NKRI sehingga menjadi pendorong lahirnya Nusantaraisme yang universal dan global.

3. AGUS ABUBAKAR ALHABSYI, Aktivis Intelektual Islam, Pendiri dan Wanbin Partai Demokrat (Rangkuman Pemikiran sedang disiapkan)

B. PESERTA DISKUSI

1. AHMAD ABDULLAH, Kandidat Doktor Ilmu Politik UI, Anggota Dewan Pengurus IDe

Bagian I:
Pada persidangan BPUPKI – PPKI dari tanggal 28 Mei sampai dengan 22 Agustus 1945, terjadi perdebatan yang sengit oleh para pemikir politik bangsa Indonesia ketika mengusulkan konsep negara, terutama saat memperbincangkan tentang dasar negara dan rancangan undang-undang dasar. Perdebatan tentang konsep negara ini terjadi dikarenakan adanya aliran pemikiran yang berbeda antara beberapa tokoh yang memiliki sudut pandang dan latarbelakang yang berbeda. Aliran pemikiran ini dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok sebagai berikut: a. kelompok Nasionalis yang mendukung konsep negara Integralistik, b. kelompok yang mendukung konsep negara Islam dan c. kelompok yang mendukung konsep negara yang berdasarkan sosial ekonomi.

Kondisi yang sama terjadi saat persidangan konstituante pada tahun 1959, dimana perdebatan yang sengit diantara kelompok Islam dan Nasionalis, tetap saja persidangan ini didominasi dan dimenangkan oleh kelompok Nasionalis. Yang menarik dalam perdebatan ini, baik perdebatan pada BPUPKI – PPKI maupun pada persidangan Konstituante adalah semua kelompok sepakat bahwa demokrasi bukanlah merupakan paham aliran kenegaraan yang sesuai dengan bangsa Indonesia, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA memaparkan dalam penyampaian pidato pengukungan guru besarnya mengungkapkan bahwa demokrasi tidak memiliki akar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi yang mengemuka di Indonesia saat ini merupakan paham yang dicangkokkan dari Barat. Sehingga paham demokrasi memerlukan waktu yang cukup lama untuk diadaptasikan di Indonesia.

Bagian II:
Ketika kita mencoba mempromosikan Khilafah di Indonesia dengan harapan agar konsep Khilafah dikenal dan setara dengan demokrasi, sepertinya akan sia-sia. Bahkan, kemunculan konsep Khilafah dalam kehidupan masyarakat akan semakin memancing penolakan yang cukup keras dari para pendukung kelompok Nasionalis. Kelompok Islam seharusnya memainkan strategi yang berbeda, yaitu dengan tidak memunculkan konsep Khilafah, tetapi dapat menerima demokrasi apa adanya seperti penerimanaan Natsir terhadap demokrasi. Bermain dalam koridor demokrasi akan sangat memberikan peluang kelompok Islam untuk memenangkan pertandingan, seperti yang terjadi pada masa parlementer ketika Masumi berjaya.

2. IWAN FEBRIYANTO, Penulis, Pemerhati Sosial Ekonomi, Anggota Dewan Pengurus IDe 

Demokrasi harus dilihat dalam perspektif lbh luas dan lengkap. Misalnya demokrasi ekonomi menjadi masalah karena ketimpangan ekonomi yg tajam. Praktek penguasaan ekonomi seperti tanah dan lahan oleh Agung Sedayu Gruo dkk sepanjang Jabodetabek dan Jababeka mengakibatkan sulitnya membangun rumah untuk rakyat oleh Gubernur-Wakil Gubernur terpilih Anies Sandi. Kekuasaan bisnis monopolistik berakibat tidak adil. Karena itu, harus ada keseimbangan baik dalam praktek politik maupun ekonomi. Praktek politik di Iran dgn kombinasi simbol agama dan politik cukup berhasil. Fenomena Politik DKI Jakarta dgn simbol 212 dst dan tokoh Anies Sandi cukup berhasil. Kombinasi ini bisa dikembangkan tanpa menyentuh isu Khilahah maupun Syariah.

Dari 3 stimulus demokrasi di tubuh bangsa Indonesia sebagaimana disampaikan Abdurrahman Syebubakar, stimulus ke-3 lebih dominan, yaitu demokrasi Barat berbasis materialisme dan liberalisme. Kelompok minoritas kuasai ekonomi dan berambisi kuasai arena politik. Sekali lagi kedeimbangan dibutuhkan baik dalam demokrasi politik maupun ekonomi. Stimulus materialisme berbalut kapitalisme yang dibungkus korporatisme mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa Indonesia secara negatif.

3. SATRIYO, Staf Pimpinan DPR RI Bid Kokesra, Pengajar Lepas LBI UI, Pengurus IDe Bid Budaya

Demokrasi dan khilafah tidak harus dibenturkan satu sama lain karena keduanya dapat tumbuh subur berdampingan dan mungkin saling bersinergi di tanah air. Sinergi antara keduanya akan melahirkan entitas yang unik. Dalam tataran politik bernegara, misalnya, akan dapat dilihat dalam partai politik. Parpol berbasis agama khususnya Islam akan menjadi wadah anggotanya untuk "mengislamkan" demokrasi dan "mendemokrasikan" Islam.

"Mengislamkan" demokrasi dapat dilihat dari produk politik yang tidak bertentangan dengan maqashid syariah yang berwujud Pancasila. Sedangkan "mendemokrasikan" Islam dapat dilihat dari upaya-upaya Parpol yang menempuh jalur politik dalam berdakwah. Namun yang patut disayangkan adalah bahwa hingga kini upaya ini malah memecah kaum Islam ke dalam sekian banyak Parpol dan tidak bersatu suara dalam satu wadah. Kasus yang bisa disebut sebagai clash within civilizations ini mencerminkan betapa masih jauhnya jalan demokrasi dalam tubuh Islam. Salah satu bentuk ekstrem adalah pemecatan anggota Partai Islam yang tidak sesuai dangan aturan perundangan yang berlaku yang bahkan tidak pernah terjadi di Parpol sekuler.

4. SMITH AL-HADAR, Direktur Eksekutif IDe, Analis Politik Timur Tengah

Khalifah, dalam konsep negara Islam atau khilafah klasik, adalah pemimpin negara Islam bukanlah pemimpin agama atau imam dalam imamah menurut Syiah. Khalifah adalah pemimpin profan yg bertugas melindungi dan mengayomi ummat Islam. Khalifah juga bertugas memfasilitasi dakwah Islam, termasuk ekspansi ke Darul Harb (wilayah perang), demi tegaknya agama Allah di muka bumi. Khalifah didampingi ulama sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam masalah masalah spiritual, termasuk di dalamnya memastikan hukum Islam berlaku di dalam khilafah dan memberi legitimasi keagamaan pada khalifah untuk mengambil keputusan-keputusan profan, termasuk justifikasi perang dan damai.

Kerajaan Arab Saudi, yg basisnya adalah pemahaman keagamaan sesuai yang diajarkan pendiri Wahabi (yaitu Muhammad ibn Abdul Wahab), adalah kolaborasi ulama sebagai pemimpin agama dengan raja (Malik) sebagai pemimpin politik. Dalam perkembangannya kemudian, ulama Saudi lebih tunduk pada elit penguasa dan berperan sabagai pelayan kerajaan sesuai dengan permintaan penguasa.

Dukungan penuh ulama pada praktek-praktek politik yang dijalankan raja sebagai penguasa absolut pada akhirnya tidak memungkinkan munculnya ekspresi politik rakyat yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini menimbulkan ketegangan antara penguasa dgn rakyat. Untuk mengatasi persoalan ini, pada 1994 raja membentuk dewan syura (60 anggota) yang  bertugas memberi masukan kepada raja tentang berbagai hal yg berkembang dalam masyarakat. Tetapi Dewan Syura tak memiliki kedaulatan atau kekuasaan apa pun.

Dalam jangka panjang, kalau kerajaan bersedia melakukan reformasi dan reinterpretasi atas ajaran-ajaran Wahabi yang sudah sangat ketinggalan itu, yaitu memodernisasi dan mengakomodasi perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara menyeluruh, Arab Saudi berpeluang menjadi negara demokrasi atau monarki konstitusional.

0 Response to "Demokrasi vs Khilafahisme, diskusi The Institute for Democracy Education"

Posting Komentar