Guru Pancasilais vs Guru Khilafah oleh Zaki Mubarak

Tulisan ini adalah dampak pemberitaan massif atas isu terkini tentang upaya pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Disamping HTI yang sedang banyak dilawan ideologinya oleh GP Anshor, sidang Ahok pun yang kontroversial menimbulkan sebuah isu baru tentang arti sebuah kebhinekaan dan kesetiaan pada Pancasila. Dua isu ini saling kait mengait satu sama lain, dan bila dilihat secara jeli ada beberapa bingkai yang bisa menjadi acuan isu ini yakni; pilkada Jakarta, program men-Suriah-kan Indonesia dan keruntuhan rejim yang berkuasa. Saya sudah termakan isu-isu ini sehingga harus sedikit mengaitkan pemberitaan ini dengan pendidikan dan guru. Namun, saya tekankan, saya tidak tahu menahu grand design apa yang sebenarnya sedang dimainkan di Indonesia ini. Apapun itu, semoga saja negeri ini tetap aman, tentram dan maju.

Bila saya kontraskan dalam konteks yang sedikit banyak saya kuasai tentang guru, maka akan lahir perbedaan antara guru pancasilais dan guru khilafah. Pancasilais adalah wakil isu yang belakangan berkaitan erat dengan kasus Ahok versus FPI dan cs. sedangkan, khilafah adalah wakil dampak dari massifnya gerakan khilafah yang dimotori oleh HTI beserta kelompok yang pro atas pembentukan khilafah Islamiyah sedunia. Ada benang pendidikan di antara keduanya. Apa itu, lets get it on!

Baiklah, saya harus perjelas perdebatan dua tipe guru ini menurut pandangan saya. Guru pancasilais adalah guru yang memiliki pandangan bahwa Pancasila adalah dasar negara, bukan dasar agama. Untuk masalah agama, Pancasila telah mewakilkan pada sila pertama dan menjadi core dari sila-sila lain. Bagi guru ini, dasar negara sudah selesai dan tidak dipermasalahkan, toh agama sudah masuk dalam Pancasila. Bila dalam konteks Islam, Islam terwakili oleh Pancasila, dan Pancasila pun sangat Islamis. Jadi tidak ada pertentangan di dalamnya. Islam tidak lagi dipandang sebagai ideology untuk sebagai negara, tetapi ia lahir sebagai ajaran. Ajaran yang lebih dari sekedar ideology negara yang bahasannya sampai liang lahat.

Guru khilafah adalah guru yang berpendapat bahwa Islam adalah ajaran kehidupan yang di dalamnya ada sistem negara. Syariat Islam bisa berdiri bila sistem negara dibangun secara linier oleh Islam itu sendiri. Sistem “thogut” diyakini tidak bisa menjadikan Islam sebagai ajaran yang kaffah, melainkan sebagai halangan yang harus diruntuhkan dengan cara pendirian sistem ala zaman baheula. Sistem zaman para kholifah atau kesultanan Islam yang universal inilah yang menjadi dambaan sistem guru khilafah, dimana ada satu kepemimpinan Islam dan dapat menyatukan seluruh ummat. Bila dibandingkan, mungkin ingin menyerupai katolik dengan Paus Romanya, atau bernostalgia sultan usmani pada dinasti ottoman. Singkatnya, sebuah negara akan baik bila menggunakan teokrasi daripada demokrasi.

Bagi saya, kedua guru ini memiliki perbedaan pandangan dalam menilai Islam sebagai agama. Bila guru Pancasilais melihat Islam sebagai ruh dari sebuah negara atau bisa dibilang aliran nativist, sedangkan guru khilafah memanadang Islam sebagai sebuah sistem kehiduapan dari A sampai Z dan negara harus didasari agama agar tegaknyaa sistem kehidupan yang ideal. Pandangan ini sangat strukturalis. Bagi negara demokrasi, perbedaan pandangan seperti itu adalah wajar dan normal, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Yang tidak wajar adalah bagaimana kita kalut untuk takut bersaing satu sama lain karena ingin menutupi kelemahan diri sendiri.

Karena ini adalah tentang guru, maka saya akan lebih bercerita bagaimana pandangan yang berbeda ini hadir bagi setiap guru. Meski dalam tujuan pendidikan nasional sudah jelas dan bahkan dalam rumusan RPP yang baru bahwa “nasionalisme” adalah harga mati, dalam faktanya guru khilafah bisa menafsirkan sendiri tentang tujuan pendidikan kita. Untuk guru pancasilais, tidak ada masalah serius dalam sistem pendidikan kita. Mereka hanya butuh bagaimana memahami dan menghayati Pancasila dapat terpersonifikasi dalam prilaku dan budaya masing-masing guru. Tetapi, bagi guru khilafah sistem ini menjadi bahan kecurigaan. Bila sistem pendidikan tidak menggunakan nilai dan aturan (syariat) Islam, maka tidak perlu diikuti. Perlu perombakan mendasar atas sistem pendidikan yang belum melaksanakan nilai Islam secara ketat. Untuk batasan ketat ini, saya harus menggalinya di perpustakaan yang luas.

Bila dihayati secara jujur, desain pendidikan kita tidak memiliki masalah serius dengan konten keagamaan. Semua nilai yang bagus dalam agama dimasukan tanpa paksaan, dan sudah memiliki habitatnya sendiri. Permasalahan yang serius mungkin lebih kepada SDM guru pancasilais yang kurang berkembang secepat konsepnya. SDM guru pancasilais belum memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah. Pancasila sebagai representasi dari ajaran agamanya dapat mencair dengan segala akulturasinya. Guru dengan memegang erat nilai Pancasila akan melihat dimensi agama sebagai penguat nasionalismenya. Bagi mereka, negara adalah kesepakatan bersama yang harus dipertahankan bersama, bukan sebaliknya.

Bila jujur lagi, desain pendidikan kita sudah sangat baik, namun implementasinya sangat kurang. Iniah yang mungkin menjadi senjata guru khilafah mengkritisi tentang ketidak baikan sistem pendidikan kita. Mereka menggeneralisir sistem pendidikan tanpa melihat kekurangan setiap komponen yang membangunnya. Sistem pendidikan kita vis a vis dengan sistem ideal pendidikan Islam, yang sebenarnya kita pun agak ragu tentang sistem pendidikan Islam yang dimaksud. Bila mengacu pada golden age nya dunia Islam, maka pendidikan Islam memiliki pendekatan pokok rote learning, pendidikan hafalan. Pendidikan ini mewariskan hal yang lalu untuk terus dibudayakan masa kini. Untuk urusan nilai, moralitas dan agama, ini mungkin sangat ideal, tapi bagi teknologi dan ilmu pengetahuan, agaknya kurang relevan. Namun, bagi guru ini keukeuh dengan pendirian bahwa Islam telah memiliki sistem pendidikan lebih baik.

Saya harus akui, bahwa menjadi guru Pancasilais lebih rasional ketimbang guru khilafah. Saat ini negara didefinisikan oleh batasan wilayah yang diakui dunia, bukan dibatasi oleh keyakinan warganya. Guru Pancasila realisitis dalam melihat kecenderungan definisi negara saat ini, mereka lebih senang memasukan agama sebagai jiwa dari pendidikan bukan hanya raga yang penuh dengan simbol-simbol pendidikan. Guru pancasilais lebih menempatkan dirinya sebagai pengabdi ilmu untuk apapun bentuk negaranya. Ia mengabdi untuk kehidupan yang dinamis. Guru khilafah terlihat lebih emosional ketimbang guru pancasilais. Mereka melihat kecemburuan Islam yang terpinggirkan atas sistem demokrasi yang tak menentu. Guru ini sangat marah manakala pendidikan yang menjadi dunianya hanya sebagai alat kekuasaan mereka yang koruptif, manupulatif dan jahat. Guru ini mengabdi kepada nilai yang universal, nilai nostalgia yang mungkin saja mereka tahu dari sejarah yang begitu panjang, nilai Islam yang mungkin untuk dirumuskannya pun membutuhkan waktu yang panjang pula.

Bila saya diminta saran, maka menjadi guru pancasilais boleh dipilih oleh Anda yang ingin menjadi guru saat ini. Guru yang mengabdi kepada ilmu, murid dan kehidupan. Bilapun Anda memilih menjadi guru khilafah, saya pun tidak marah, karena saya tahu bahwa pendidikan ala teokrasi lebih lama hidupnya dibandingkan pendidikan ala demokrasi. Mereka sudah teruji dan telah memenuhi ruang perpustakaan yang luas atas kesuksesannya. Saya juga tidak tahu, seberapa lama definisi nasionalisme akan bertahan dengan baik. Saat ini globalisasi telah meluluhlantahkan definisi ini. Saya pun tak tahu, seberapa lama demokrasi akan bertahan saat ini, karena kapitalisme yang memboncenginya telah terbukti memiskinkan yang miskin dan mengkayakan mereka yang rakus. Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.{}

Untukmu agamaku Islam, Untukmu negeriku Indonesia, kita bisa saling mengisi.

Bumisyafikri, 9/5/17

0 Response to "Guru Pancasilais vs Guru Khilafah oleh Zaki Mubarak"

Posting Komentar